0

Pendidikan Seksual Dini yang Tidak Dini

Beberapa pekan ini media dihebohkan oleh sebuah kasus kekerasan seksual seorang anak. Bukan karena korbannya adalah anak di bawah umur, tapi karena kejadian ini terjadi di sekolah bertaraf internasional. Anehnya, saat kasus kekerasan atau pun pelecehan seksual terhadap anak mencuat di media. Media, juga kita—para orang tua—tak pernah berhasil mendapat jawaban, mengapa kasus serupa tak juga berkurang. Kita larut pada; caci maki terhadap tersangka dan hukuman yang dikenakan serta korban yang seharusnya dibekali tentang pendidikan seksual sejak dini. Kita tak pernah benar-benar membuka mata pada apa yang terjadi sebenarnya.

Kecenderungan seksual adalah salah satu insting paling sensitif di antara sifat dasar manusia. Insting ini hadir pada setiap individu sejak lahir (yang selama beberapa waktu tidak aktif). Secara perlahan, selama masa kanak-kanak insting ini berkembang, dan matang saat usia dewasa. Anak usia dua atau tiga tahun mulai dapat membedakan antara laki-laki dan perempuan. Semakin bertumbuh, anak merasakan ketertarikannya pada hal-hal yang memaparkan keindahan. Mereka mulai memperlihatkan ketertarikan pada lawan jenisnya. Rasa penasaran terhadap perbedaan atas lawan jenisnya semakin hari semakin kuat. Dalam psikologis, tahapan ini disebut sebagai tahapan psikoseksual. Yang secara ringkas dimulai dari tahap anal (dimulai sejak individu lahir) hingga tahap genital yang mencapai puncaknya antara usia 11-18 tahun.

Ini membuktikan bahwa di dalam diri anak-anak bersemayam kecenderungan seksual yang tersembunyi. Sesuatu yang kurang kita sadari sebagai bahan pendidikan seksual dini yang dimulai dari kehidupan terdekat, keluarga.

Setelah kasus kekerasan seksual yang melibatkan sekolah bertaraf internasional di Jakarta. Para orang tua seperti ‘dibangunkan’ dari tidurnya. Kita, tak terkecuali pakar pemerhati anak berpendapat bahwa hal ini disebabkan masyarakat masih menganggap tabu pendidikan seksual anak sejak dini.

Pendidikan seksual sejak dini diartikan sebagai pemberian pemahaman terhadap anak lewat penyampaian pesan secara verbal. Kita lagi-lagi lupa, sebaik-baik pendidikan adalah teladan yang baik.

Kejadian ini selalu saja menyeret kita apa kata kunci, ‘bagaimana memberi pemahaman anak usia dini tentang pengetahuan seksual?’ Jika disimak lebih jauh, kita lagi-lagi berfokus pada korban sebagai objek. Bukan pada tersangka sebagai subjek tindakan keji ini. Layaknya pengguna narkoba yang butuh rehabilitasi. Pelaku pelecehan seksual juga selayaknya mendapat pendidikan semacam rehabilitasi. Hal yang paling penting dari semuanya adalah mencari akar penyebab agar tak muncul generasi-generasi pelaku selanjutnya.
Tanggung jawab sebagai orang tua tentunya menjaga agar kecenderungan seksual anak tak lahir secara prematur. Ini akan berakibat pada berbagai kelainan atau cacat psikologis (kejiwaan) maupun fisiologis (hayati) serta cacat sosial.

Pendidikan Seksual Dini

Pada umumnya, orang tua beranggapan bahwa apa yang dilihat dan disaksikan anak usia belia tidak akan berpengaruh pada tumbuh kembangnya. Interaksi atas anggota tubuh sedarah yang berlainan jenis tidak akan berpengaruh apa-apa. Padahal kecenderungan seksual adalah salah satu kecenderungan terkuat. Ketika bangkit, ia tidak akan membiarkan seseorang memikirkan apapun.

Beberapa kesalahan orang tua memandang kecenderungan seksual anak ditandai dengan prasangka mereka bahwa anak tak memahami apa yang mereka lihat. Suatu hal yang lumrah terjadi jika orang tua mengajak anaknya mandi bersama. Berganti pakaian secara terang-terangan di depan anak. Hingga bersenda gurau dengan pasangan di tengah-tengah kehadiran anak. Menurut Ibrahim Amini dalam bukunya Asupan Ilahi Jilid 4, kesemuanya tanpa sadar telah mengorbankan kecenderungan seksual anak.

Pada usia lima tahun, anak-anak yang berlainan jenis kelamin harus tidur terpisah. Tak terkecuali antara anak dan orang tuanya. Yang dalam hal ini berjenis kelamin berbeda. Bahkan, seorang ibu tak sepatutnya membiarkan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh anak perempuannya yang telah berumur enam tahun. Imam Ja’far Shadiq meriwayatkan dari datuk-datuknya, “Jika tubuh seorang ibu bersentuhan dengan tubuh anak perempuannya, maka ia (berarti) sedang melakukan sejenis gangguan (penganiyaan).”
 
Pada kenyataannya, kita lupa bahwa pendidikan seksual anak sejak dini sesungguhnya adalah pendidikan yang dimulai dari diri kita sendiri. Jika kita harus bertanya siapa yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual, maka jawabannya harus kita mulai dengan ‘orang tua’.

Wallahu ‘alam bisshawab