0

Mencari ‘Cahaya Surga’

Tetiba rindu pada dua teman semasa sekolah dulu. Dua orang yang namanya sama, Nurjannah. Nurjannah, seorang sahabat semasa SD lebih dikenal dengan panggilan Jannah. Perempuan tangguh dan sabar. Nurjannah yang kedua adalah teman semasa SMP. Dia kerap dipanggil dengan nama Ana. Dia seperti kakak bagi saya. Pengayom. Kabar keduanya entah seperti apa saat ini. Hal terakhir yang saya ingat, mereka telah menikah di usia muda.

Saya mengenal Jannah saat duduk di kelas lima SD–karena saya murid pindahan. Dia punya adik kembar perempuan. Ayahnya seorang buruh bangunan. Ibunya membuat nasi kuning untuk dijual. Sebagiannya dijual Jannah di sekolah kami. Saya sering kebagian nasi kuning gratis darinya. Rasanya enak.

Di sekolah, Jannah termasuk siswa yang kurang populer dikalangan teman-teman. Saya–bisa dikatakan–adalah satu-satunya teman yang dekat dengannya. Dia kerap diejek dengan panggilan yang bukan namanya. Dalam istilah moderen ini bisa disebut bully. Ah, saya baru sadar, bully ternyata bukan hal baru di era sekarang. Meski demikian, dia dikenal baik dan dekat dengan para guru. Mungkin karena anaknya penurut dan rajin.Wali kelas kami selalu mempercayakan urusan dagangan kantinnya yang tersisa pada Jannah. Jajanan yang akan dijual secara utang diakhir jam pelajaran. Janna bertugas mencatat nama siswa yang berutang lengkap dengan nominal rupiah yang harus ditagih besok.

Hingga SMP, kami masih sering bertemu dan pulang bersama meski berbeda kelas. Saya lupa, apakah dia sempat menamatkan SMA-nya atau tidak. Seingat saya, dia menikah saat saya duduk di bangku SMA. Pernah suatu hari, saya marah padanya. Saya kesal karena diajak ke suatu tempat yang lumayan jauh dengan hanya berjalan kaki. Pulang-pergi pula. Itu pun tanpa berkata apa-apa terlebih dulu.

Lain Jannah, lain pula Ana. Ana bisa disebut sebagai ketua geng. Dia ‘populer’. Tapi jangan bayangkan Ana seperti ketua geng dalam sinetron-sinetron remaja. Ketika mengingat sosoknya, saat itu pula saya merasa seperti seorang adik yang merindukan kakaknya.

Entah kenapa, beberapa hari ini wajah mereka sering terbayang. Hampir sepuluh tahun berlalu. Kemarin, saya berusaha mencari tahu keberadaan mereka melalui seorang teman. Hasilnya, memberi saya sedikit harapan. Tapi tidak dengan Ana. Tak ada kabar apa pun tentangnya.

Untung saja, Tuhan selalu memberi penawar diantara jarak dan waktu. Doa terbaik untuk mereka berdua, Nurjannah, ‘Cahaya Surga’.

Sabtu, 28 Februari 2015

0

Mengenal Quran dengan Gerakan Isyarat

Sejak Afifa lahir, kakeknya sangat berharap dia terlahir sebagai hafizah Quran. Ya, meski saya akui, saya sedikit pesimis tentang hal ini. Sadar bahwa dalam silsilah keluarga saya dan suami tak ada seorang pun penghafal Quran—sejauh yang saya ketahui. Meskipun suami pernah menghafal 5 juz saat di sekolah pesantren. Tapi itu duluuu sekali.

Di akhir November tahun 2014, saya mengikuti sebuah pelatihan menghafal dan memahami ayat Quran dengan gerakan isyarat (metode ACQ). Kembali, di pertengahan Februari baru-baru ini, saya menjadi bagian dari kegiatan yang sama. Saya belajar banyak dari kegiatan ini. Bahagia dan haru benar-benar saya rasakan. Di sana, potongan ayat-ayat Quran menggema, bersahut-sahutan diiringi gerakan yang berbeda ditiap kata yang terangkai dalam sebuah ayat. Di sana pula, kita bisa melihat bahwa belajar tak mengenal umur, bahkan jika anda adalah seorang ibu dengan 2 anak kecil.

Di akhir November itu, usia Afifa 2 tahun minus sebulan. Saya dan suami berencana mulai mengajarkan al-Quran secara intensif (setiap hari) saat usianya mencapai 2 tahun. Alhamdulillah terbantu dengan gerakan isyarat yang telah saya pelajari. Setelah pelatihan pertama di bulan November selesai, harus saya akui, justru Afifa lah yang membangun kebiasaannya sendiri. Setiap pagi setelah bangun tidur dan malam sebelum naik ke tempat tidur dia mewajibkan dirinya bermain flash card dan menengok keempat buku paketnya yang berisi ayat-ayat akhlak. Saya bahkan pernah menolak menemani dia bermain saat saya benar-benar kelelahan. Tapi apa daya, Afifa selalu punya kekuatan menaklukkan rasa lelah saya.

Seminggu berlalu, perlahan saya menyadari, Afifa mampu mengenali beberapa huruf hijaiyah. Dari waktu ke waktu, hingga dia sendiri yang menentukan kapan saatnya fokus pada gerakan isyarat setiap huruf—bukan lagi pada bentuk arab huruf hijaiyah. Dan kini, tadaaa… Afifa siap untuk di test bersama huruf hijaiyahnya 🙂

Setelah cukup mahir mengenal huruf hijaiyah, saya mulai mengulang-ulang potongan ayat akhlak setiap hari. Di hadapannya saya berdiri seperti polisi lalu lintas yang bergerak-gerak memberi isyarat, heheheee… Dan kini, Afifa hampir saja menamatkan 12 ayat akhlak pada buku paket pertama. *congratulation Afifa :* kecupkecup

Oh iya, ada 1 ayat favorit Afifa. Ayat apapun yang saya minta, maka ayat inilah yang pertama kali akan dia lafalkan dengan gaya khasnya.

“Wa bil waalidaiini ihsaanaa”, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya.

Ah, maka nikmat Tuhan yang manakah yang kau dustai?