Tetiba rindu pada dua teman semasa sekolah dulu. Dua orang yang namanya sama, Nurjannah. Nurjannah, seorang sahabat semasa SD lebih dikenal dengan panggilan Jannah. Perempuan tangguh dan sabar. Nurjannah yang kedua adalah teman semasa SMP. Dia kerap dipanggil dengan nama Ana. Dia seperti kakak bagi saya. Pengayom. Kabar keduanya entah seperti apa saat ini. Hal terakhir yang saya ingat, mereka telah menikah di usia muda.
Saya mengenal Jannah saat duduk di kelas lima SD–karena saya murid pindahan. Dia punya adik kembar perempuan. Ayahnya seorang buruh bangunan. Ibunya membuat nasi kuning untuk dijual. Sebagiannya dijual Jannah di sekolah kami. Saya sering kebagian nasi kuning gratis darinya. Rasanya enak.
Di sekolah, Jannah termasuk siswa yang kurang populer dikalangan teman-teman. Saya–bisa dikatakan–adalah satu-satunya teman yang dekat dengannya. Dia kerap diejek dengan panggilan yang bukan namanya. Dalam istilah moderen ini bisa disebut bully. Ah, saya baru sadar, bully ternyata bukan hal baru di era sekarang. Meski demikian, dia dikenal baik dan dekat dengan para guru. Mungkin karena anaknya penurut dan rajin.Wali kelas kami selalu mempercayakan urusan dagangan kantinnya yang tersisa pada Jannah. Jajanan yang akan dijual secara utang diakhir jam pelajaran. Janna bertugas mencatat nama siswa yang berutang lengkap dengan nominal rupiah yang harus ditagih besok.
Hingga SMP, kami masih sering bertemu dan pulang bersama meski berbeda kelas. Saya lupa, apakah dia sempat menamatkan SMA-nya atau tidak. Seingat saya, dia menikah saat saya duduk di bangku SMA. Pernah suatu hari, saya marah padanya. Saya kesal karena diajak ke suatu tempat yang lumayan jauh dengan hanya berjalan kaki. Pulang-pergi pula. Itu pun tanpa berkata apa-apa terlebih dulu.
Lain Jannah, lain pula Ana. Ana bisa disebut sebagai ketua geng. Dia ‘populer’. Tapi jangan bayangkan Ana seperti ketua geng dalam sinetron-sinetron remaja. Ketika mengingat sosoknya, saat itu pula saya merasa seperti seorang adik yang merindukan kakaknya.
Entah kenapa, beberapa hari ini wajah mereka sering terbayang. Hampir sepuluh tahun berlalu. Kemarin, saya berusaha mencari tahu keberadaan mereka melalui seorang teman. Hasilnya, memberi saya sedikit harapan. Tapi tidak dengan Ana. Tak ada kabar apa pun tentangnya.
Untung saja, Tuhan selalu memberi penawar diantara jarak dan waktu. Doa terbaik untuk mereka berdua, Nurjannah, ‘Cahaya Surga’.
Sabtu, 28 Februari 2015