0

Mengenal Fatimah

Saya pertama kali mengenalnya saat kuliah semester pertama. Waktu itu, umur saya kira-kira 19 tahun. Tergolong cukup tua saya kira, mengingat pelajaran agama saya dapatkan sejak duduk di bangku SD. Apalagi, Islam adalah agama yang saya anut sejak di dalam kandungan. Saya tetap berharap, saya lah yang lupa, bahwa dulu, orang tua dan guru agama saya pernah memperkenalkannya.

Tak ada ritual jabat tangan dalam perkenalan itu. Tidak pula ada saling sapa dan sunggingan senyum manis. Yang ada adalah penyesalan, terlalu terlambat. Saya tiba-tiba tidak paham, bagaimana 19 tahun itu berlalu tanpa dirinya. Sedang saya—bisa jadi—hidup ‘karena’  dirinya. Karena perjuangannya.

Usia 19 tahun terlewati sebagaimana perempuan pada umumnya. Mungkin saja terbilang sangat sederhana. Sebagai perempuan yang beranjak dewasa, pencarian jati diri dimulai. Inilah—mungkin—awal saya mengenalnya. Dunia kampus memang punya warna indah yang jauh berbeda—setidaknya bagi saya—yang hingga kini terasa amat dalam.

Banyak yang bilang, garis kehidupan ditentukan oleh Tuhan, baik buruknya semua berasal dari Tuhan. Pokoknya, takdir berada dalam genggaman Tuhan.  Tapi saya mengira, terkadang itu adalah jawaban atas ketidakmampuan kita memahami cara kerja Tuhan. Bukankah setiap akibat terdapat sebab sebelumnya? Saat rugi kita mengembalikannya pada Tuhan. Menyalahkan Tuhan. Semua karena Tuhan. Kita lupa mengoreksi kesalahan atau pun kelalaian diri. Saat keberuntungan menyapa, kita lupa, percaya pada diri sendiri atas sebuah keberhasilan. Lupa, bahwa disetiap kebaikan, kemurahannya sebenarnya tengah menaungi tanpa kita sadari. Kendati pun kita diberi ikhtiar.

Berawal dari sebuah hukuman, namanya kini terpatri di dalam hati. Siapa yang menyangka, Tuhan membuat saya menemukannya lewat sebuah hukuman saat saya mengikuti pengkaderan sebagai mahasiswa baru. Tak ada hukuman yang lebih indah dari ini.

Saya masih ingat, kala itu, karena melewatkan beberapa tahapan pengkaderan sebagai mahasiswa baru, saya diberi hukuman membeli sebuah buku yang berkisah tentangnya. Terserah saya, buka karangan siapa pun itu. Tugas saya hanya satu, membaca buku tersebut. Dan saya menjatuhkan pilihan pada sebuah buku berukuran kecil karya Abbas Azizi.

Diantara milyaran perempuan yang mengimpikan surga, saya adalah salah satunya. Namun saya benar-benar berharap, semoga diantara milyaran perempuan itu, saya adalah satu-satunya yang menyesal karena terlambat mengenalnya. Ah, bagaimana bisa seseorang yang mengimpikan surga tak mengenalnya? Bagaimana bisa seseorang yang mengaku beragama Islam tak mengenalnya? Bagaimana bisa seseorang yang mengaku mencintai Muhammad tak mengenalnya?

Dialah Fatimah binti Muhammad, wanita penghulu surga.

Image result for gambar fatimah az zahraSumber: http://www.hajij.com/

Melalui buku Abbas Azizi, “Kisah Fatimah az-Zahra”, saya menyelami kehidupan Fatimah. Menikmati kisah kesehariannya, seakan tengah berada di sampingnya, belasan abad yang lalu. Buku itu mengenalkan saya pada az-Zahra, Ummu Abihaa, putri terkasih Rasulullah SAW.

Fatimah adalah putri kesayangan Rasullullah. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Fatimah adalah sosok yang sangat mirip dengan ayahnya. Fatimah, dalam pelbagai riwayat, ucapan para ulama, dan bait-bait syair, setidaknya memiliki 104 gelar.

Dibukunya, Abbas Azizi menuliskan bagaimana penghormatan Rasulullah  terhadap putrinya, Fatimah. “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, “Setiap kali Fatimah datang menghadap, Nabi berdiri dari tempat duduk dan menyambutnya, mencium kepalanya, dan mendudukkannya di tempat duduk beliau. Dan bila Rasulullah yang datang menemui Fatimah, masing-masing saling mencium dan duduk bersama.””

Betapa besar kasih sayang dan hormat Rasul, dia mengutamakan putrinya hingga persoalan duduk sekali pun.

Dalam sebuah riwayat lain dikisahkan pula bagaimana posisi Fatimah di hati Rasul. Pada suatu hari, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah. Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku.”

Saya malu ketika mengingat  kali pertama ditanya tentang Fatimah. Saya jawab dengan bingung, “Siapa Fatimah?” Bagaimana mungkin saya bisa membahagiakan hati Rasul tanpa mengenal putrinya, Fatimah az-Zahra.

Melalui sosok Fatimah, Rasul memperkenalkan kepada semua perempuan; patron, teladan. Fatimah adalah seorang anak yang sekaligus menjadi ibu bagi ayahnya dan menemani dakwah kenabian Rasulullah hingga akhir hayatnya. Fatimah adalah seorang istri dan ibu yang penuh kasih sayang terhadap keluarganya. Fatimah adalah sosok perempuan yang berani dengan lantang menyuarakan keadilan. Fatimah adalah bunga yang mekar sepanjang zaman peradaban manusia.

0

Perempuan dan Tugas Mulianya Dalam Rumah Tangga

“Barangsiapa dianugerahi Allah dengan perempuan shalih, berarti ia telah menolong separuh agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dengan separuhnya yang lain.”Rasulullah saw.

Perkataan Rasulullah saw di atas menegaskan tentang pentingnya peran perempuan. Islam memandang perempuan saleh sebagai landasan masyarakat madani sekaligus faktor yang berperan penting dalam perbaikan kondisi masyarakat. Semua itu dimaksudkan agar sebuah masyarakat dihuni para individu yang cenderung pada kebajikan dan bersedia memikul tanggung jawab untuk membangun masa depan kemanusiaan yang gilang-gemilang.

Sebagai pemimpin dalam rumahnya, perempuan bertanggung jawab dalam mengatur rumah dan pendidikan anak. Sebuah tugas mulia yang tidak mudah. Perempuan adalah muara kasih sayang bagi keluarganya. Sejatinya, kenyamanan dan ketenangan rumah bergantung pada perempuan. Potensi dari kemuliaan perempuan inilah yang tidak seharusnya dirampas oleh kantor-kantor atau tempat perniagaan. Pengetahuan dan tenaga perempuan tidak seharusnya dikerahkan untuk kepuasan materi kantor-kantor maupun perusahaan perniagaan. Hingga akhirnya lelah merampas sifat alamiah perempuan yang senantiasa menebarkan cinta damai bagi anak-anak dan suaminya di rumah.

Meskipun aksi gerakan kesetaraan gender perlahan meredup, tetapi semangat ini masih mengakar kuat di dalam diri sebagian besar perempuan-perempuan modern. Hal ini tampak dengan banyaknya perempuan yang lebih memilih aktivitas berkarir di luar rumah. Tentu saja hal ini tidak menjadi masalah selama perempuan tidak meninggalkan sifat kodratinya. Namun, dalam kenyataannya, begitu banyak perempuan yang lebih memilih memikul tanggung jawab yang seharusnya dipikul kaum lelaki dengan dalih kesetaraan gender dengan menyampingkan sifat alamiahnya sebagai ibu dan istri. Bahkan, sejumlah perempuan menginginkan dirinya menyandang sifat-sifat yang dimiliki kaum lelaki.

Menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah profesi dengan imbalan sebuah kemuliaan. Namun, acapkali perempuan merasa minder dengan profesi ini, karena anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa profesi ini hanya bergelut di “dapur”, “sumur”, dan “kasur”. Jelas, anggapan ini keliru. Menjadi ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan remeh. Sebagai pemimpin dalam rumahnya, seorang perempuan yang bijak dituntut kecermatan dan ketelatenan. Sifat kasihnya adalah senjata dalam membentuk karakter manusia-manusia terdidik yang berakhlak. Sebagai seorang ibu, ia adalah cerminan akhlak masyarakat. Sebagai seorang istri, perempuan adalah samudera ketenangan bagi suaminya.

Rasulullah saw bersabda, “Didiklah anakmu 25 tahun sebelum dia lahir”. Hal ini menekankan bahwa sebelum mendidik anak, seorang perempuan dituntut untuk mendidik dirinya terlebih dahulu. Pendidikan yang dimaksud tentulah tidak sesempit pendidikan yang diperoleh di bangku sekolah, tapi yang terpenting adalah pendidikan agama. Karena sifat kasih sayang yang dimiliki perempuan haruslah disandingkan dengan otak yang cerdas, agar tidak salah dalam mendidik. Ibu yang bodoh mustahil melahirkan anak yang cerdas.

Faktor lain mengapa perempuan merasa minder serta tidak menggemari profesi ini adalah konstruksi budaya yang menganggap bahwa segenap pekerjaan rumah tangga adalah kewajiban perempuan. Sehingga perempuan menganggap hal ini sebagai beban yang tidak adil bagi mereka. Padahal tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi bagi seorang perempuan selain kemuliaan yang diberikan Islam. Dan hal ini bermuara pada tugas fitrawi perempuan sebagai seorang ibu dan isteri.

Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga tidaklah terbatas oleh hitungan jam kerja dalam sehari. Sebagaimana kemuliaannya yang tidak dapat diukur dengan hal yang materil. Pekerjaan ibu rumah tangga adalah perpaduan cinta, seni keterampilan, serta kecerdasan.

Tulisan ini juga dimuat di sini

0

Cantik Ekstrem

Adakah perempuan yang tak senang ketika mendapat pujian cantik? Jika ya, saya pikir ia harus memeriksakan keadaannya ke dokter spesialis jiwa.
Dewasa ini cantik diidentikkan dengan rambut panjang, kulit putih, tinggi semampai, dan tentunya body mirip gitar Spanyol. Katanya good looking, tapi tetap dalam standar “menjual”. Tapi jangan salah. Ternyata cantik terdefenisikan dalam banyak sudut pandang. Salah satunya adalah tradisi kecantikan yang merupakan budaya yang telah mengakar kuat dibeberapa belahan dunia. Beberapa praktik ekstrim di dunia kecantikan tradisional memberi gambaran bahwa beauty is pain. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
*Dalam budaya China. Bentuk kaki kecil adalah lambang kecantikan wanita. Tradisi ini dipraktikkan oleh sejumlah wanita berkelas, baik menengah maupun atas sebelum abad ke-20. Mengecilkan kaki dilakukan dengan cara melipat empat jari kaki ke bawah telapak kaki, kecuali jempol kemudian mengikatnya dengan kain yang dijahit. Dibiarkan menyatu untuk mencegah pertumbuhan keempat jari tersebut. Konon katanya, hal ini dapat meningkatkan gairah seksual pria. Tradisi ini dipraktikkan sejak mereka berusia 5-8 tahun.
*Suku Mursi di Ethiopia memandang bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berbibir lebar. Peregangan bibir ini dikenal dengan istilah ‘Labret’. Dilakukan dengan cara melubangi bagian bawah bibir semacam tindik selebar 1-2 sentimeter. Lalu menempatkan semacam piringan bulat di dalamnya. Merekan akan mengganti piringan dengan diameter yang lebih besar setiap dua atau tiga minggu. Ini berlangsung hingga diameter bibir mencapai 15-25 cm. Tradisi ini biasanya dilakukan perempuan suku mursi sejak usia 13-16 tahun atau saat menjelang pernikahan.
*Bagi suku pedalaman di Paudang, Thailand. Lambang kecantikan bukanlah berbibir lebar, tapi berleher panjang. Atas nama kecantikan, mereka nekat melakukan hal ekstrem dengan menggunakan kumparan logam di leher. Seiring pertambahan usia, kumparan ditambah sehingga tulang leher bertambah panjang secara alami.
*Tidak jelas di belahan bumi mana praktik ekstrem ini yang satu ini bermula. Kaum wanita pada abad ke-19 dan 20 banyak yang meratakan perut dengan cara menggunakan korset super ketat dalam jangka panjang untuk memperkecil pinggang. Hal ini dipercaya mampu mengurangi ukuran pinggang sebanyak 7-10 inci secara alami meski beresiko menyebabkan tulang iga retak, kerusakan organ, serta masalah pada pernapasan.
Praktik ekstrem di atas -yang melambangkan kecantikan- menandakan bahwa untuk mendefinisikan cantik dunia tidak menggunakan kaca mata kuda.
26 Januari 2012
0

Asiyah, perempuan surga

Allah berfirman, Allah membuat istri Fir’aun sebagai contoh bagi orang-orang yang beriman ketika ia berkata, ” Tuhan, buatkan aku satu rumah di sisi-Mu dalam Firdaus. Selamatkan aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkan aku dari kaum yang zalim” (Al-Tahrim (66):11).

Tak banyak yang mengenal sosok Asiyah lebih rinci. Selain karena tidak banyak keterangan tentang sejarah hidupnya, masanya juga telah lama berlalu hingga para ahli sejarah banyak yang berbeda pendapat. Meski pun demikian, banyak ahli riwayat tempo dulu yang sama sekali tidak mengetahui sejarah Mesir Kono berkata bahwa wanita yang dimaksud adalah Asiyah bint Muzahim. Mereka berpegang pada sebuah hadis dan mengaitkan dengan seseorang dari kalangan mereka sendiri, yaitu Muzahim ibn Ubaid ibn Arroyan ibn al-Walid (Fathi Fawzi, Perempuan-Perempuan surga).

Asiyah, perempuan yang Allah angkat menjadi salah satu pemimpin perempuan di surga. Beliau adalah istri kedua Fir’aun Ramses, pemimpin zalim, bengis, dan sombong yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Tuhan. Satu dari sedikit manusia yang namanya diukir indah dalam Al-Qur’an. Allah memberikan penghormatan padanya karena ketakwaan dan keshalehannya. Contoh bagi kaum perempuan yang tegak dalam keimanannya ditengah lingkungan yang dipenuhi dengan kemusyirikan. Teladan sebagai istri penyabar yang menjaga kehormatan keluarganya dan tidak mudah mengeluh. Meskipun hidup di istana dan berlimpah harta, Asiyah tidak takluk pada kemewahan duniawi yang dengan mudah dapat diperolehnya.

Asiyah adalah perempuan yang lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang. Ia dicintai oleh rakyatnya. Hal ini juga ia tunjukkan dengan berusaha memberi perlindungan kepada Musa dari suaminya Fir’aun yang selalu mencari kesempatan untuk menyingkirkan Musa. Dia mengangkat Musa sebagai anak dan ikut berperan dalam pertumbuhan Musa di tengah situasi dimana setiap anak laki-laki yang dilahirkan di masa itu dibunuh dan tidak diberi kesempatan hidup sejak ibunya melahirkannya. Hal ini berawal dari seorang peramal yang menemui Fir’aun dan mengatakan bahwa kelak dia dan kerajaannya akan dihancurkan oleh seorang anak laki-laki dari Bani israel. Menurut sang peramal, anak laki-laki tersebut masih bayi. Mendengar hal itu, Fir’aun memerintahkan bala tentaranya untuk mengawasi setiap bayi yang akan dilahirkan, jika ia laki-laki maka harus segera dibunuh. Namun Allah memiliki rencana lain, Ia telah menyusun skenario dengan menyelamatkan salah satu anak laki-laki dari bangsa ibrani, dialah Musa. Seorang bayi mungil yang ditemukan di dalam sebuah peti yang hanyut  di dekat pepohonan di pinggir sungai.

Kasih sayang Asiyah terhadap Musa sangatlah besar. Ia rela diperlakukan kejam oleh Fir’aun demi membela Musa. Bahkan setelah Fir’aun suaminya meninggal hingga pada saat Fir’aun Sette (cucu Fir’aun Ramses dan Asiyah) berkuasa mengetahui keimanan Asiyah, Asiyah rela menanggung semua penderitaannya dengan kesabaran dan keteguhan imannya terhadap Allah, Tuhan Ibrahim dan Yusuf.

Hingga akhir hayatnya, Asiyah meninggal dengan cara yang kejam. Fir’aun Sette membujuknya untuk kembali mengimani ketuhannanya, tapi Asiyah malah bergeming seraya berdoa, “Wahai Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam Firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya. Selamatkanlah aku dari kaum yang zalim (Al-Tahrim (66):11). Sedang Fir’aun dengan bengisnya menyiksa Asiyah hingga akhirnya wafat.

Semoga keteladanannya senantiasa menjadi contoh untuk kita. Salam untukmu Bunda Asiyah 🙂

16 Mei 2011

0

"dia (perempuan) adalah apa yang dikatakan laki-laki dan iklan."

Tubuh langsing, rambut lurus dan panjang, kulit putih bersinar, serta bola mata indah dengan lensa kontak warna menjadi citra perempuan cantik dewasa ini. Pada abad pertengahan di Eropa, kecantikan perempuan berkaitan erat dengan kemampuan reproduksinya. Pada abad ke-15 sampai ke-17, perempuan cantik dan seksi adalah mereka yang punya perut dan panggul yang besar serta dada yang montok ( bagian tubuh yang berkait dengan fungsi reproduksi). Kemudian pada awal abad ke-19 kecantikan didefinisikan dengan wajah dan bahu yang bundar serta tubuh montok. Sementara itu, memasuki abad ke-20 kecantikan identik dengan perempuan dengan bokong dan paha besar. Di Afrika dan India, umumnya perempuan dianggap cantik jika ia bertubuh montok, terutama ketika ia telah menikah, sebab kemontokannya menjadi lambang kemakmuran hidupnya. Pada tahun 1965 model Inggris, Twiggy, yang kurus kerempeng menghentak dunia dengan tubuhnya yang tipis dan ringkih. Ia lalu digandrungi hampir seluruh perempuan seantero jagat dan menjadi ikon bagi representasi perempuan modern saat itu. Menurut feminis Naomi Wolf, apa yang dilakukan dunia mode lewat Twiggy saat itu merupakan dekonstruksi citra montok dan sintal sebelumnya. Twiggy yang kerempeng adalah representasi gerakan pembebasan perempuan dari mitos kecantikan yang sebelumnya dikaitkan dengan fungsi reproduktif.
Tidak dapat dipungkiri, defenisi perempuan cantik  mengalami perubahan dari masa ke masa, dan yang memiliki peran besar dalam mengonstruksi defenisi perempuan cantik masa kini adalah pasar. Pasar menjadikan iklan sebagai medianya dalam menawarkan produk, sedang iklan menyajikan pencitraan perempuan cantik masa kini. Akibatnya, pendefenisian perempuan cantik selalu membutuhkan “the other”.
Perempuan dan iklan adalah pasangan yang sulit untuk dipisahkan, apalagi untuk jenis produk kecantikan dan perawatan tubuh. Pada produk khusus untuk laki-laki pun, perempuan kerap menjadi bumbu, seakan-akan iklan akan hambar tanpa kehadiran perempuan. Terkesan sangat diada-adakan dan dihubung-hubungkan. Menurut Tamrin A. Tomagola (1996), ada lima citra perempuan dalam iklan. Ia menyebutnya dengan citra pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri-ciri biologis. Citra pilar, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah lelaki dan perempuan itu sederajat, tetapi kodratnya berbeda. Citra peraduan, menganggap perempuan adalah obyek pemuasan laki-laki. Citra pinggan, digambarkan bahwa setinggi apa pun pendidikan perempuan dan sebesar apa pun penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Citra pergaulan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang dipenuhi kekhawatiran tidak memikat atau tidak tampil menawan, tidak presentable atau acceptable. Untuk dapat diterima, wanita perlu physically presentable.
Tampilnya perempuan dalam iklan tidak terlepas dari budaya patriarki yang telah berakar kuat dalam masyarakat. Menurut  Sylvia Walbi, patriarki adalah sistem dari struktur dan praktik-praktik sosial dimana kaum laki-laki menguasai, menindas dan menghisap kaum perempuan, sedangkan menurut Max Weber, patriarki adalah suatu organisasi kekeluargaan yang unik dimana ayah mendominasi anggota keluarga lainnya sekaligus mengontrol produksi ekonomi yang ada di keluarga tersebut. Dari kedua defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa patriarki menjelaskan adanya hubungan yang bersifat hirearki antara laki-laki dan perempuan. Pencitraan perempuan dalam iklan sebenarnya menggambarkan posisi perempuan sebagai objek, dan laki-laki sebagai subjek yang mendefenisikan cantiknya perempuan secara universal melalui media. 
Disini kita bisa melihat persekongkolan antara budaya patriarki dan kapitalisme pasar yang menggunakan gender (bahasa kerennya saat ini; emansipasi wanita) sebagai topengnya. Budaya patriarki yang menjadikan perempuan sebagai “second human” setelah laki-laki, yang konon katanya perempuan bertempat di wilayah domestik, yang kerjanya hanyalah mengurus rumah tangga, memasak, yang intinya berkarir sebagai ibu rumah tangga agar tidak melawan kodratnya sebagai perempuan. Kemudian, kapitalisme pasar hadir memperkenalkan bahwa perempuan juga mampu berekspresi dan melakukan hal-hal seperti yang dilakukan laki-laki di luar rumah, dengan menawarkan perempuan menjadi ikon dalam mempromosikan produk. Dan jadilah perempuan-perempuan dengan perjuangan emansipasinya yang secara tidak sadar dijadikan produk kapitalisme. Perempuan-perempuan yang identitasnya dibentuk oleh sesuatu yang lain dari dirinya, sehingga dia (perempuan) adalah apa yang dikatakan laki-laki dan iklan.

Hal lainnya yang tidak disadari kebanyakan perempuan adalah bahwa iklan seringkali melecehkan perempuan dalam hal fisik serta menyinggung ras. Sebagaimana yang kita ketahui, tidak semua perempuan putih, tinggi, langsing, berambut lurus, dan cantik. Perempuan hitam dipaksa menjadi putih, rambut keriting dipaksa lurus, bahkan perempuan yang jelek (kurang cantik) dipaksa cantik untuk memuaskan tuntutan pasar dan menjadi seperti apa yang laki-laki inginkan. Menurut Janice Winship dalam bukunya Sexuality for sale (1980), “perempuan tidak hanya melihat diri mereka sebagaimana pria melihat mereka, tetapi didorong untuk menikmati seksualitas mereka melalui mata pria. Seolah-olah wanita tidak pernah untuk menentukan identitas siapa diri mereka dan bagaimana mereka semestinya. Bentuk tubuh, rambut, pakaian, kosmetik yang dipilih, jarang digunakan untuk diri mereka sendiri, pasti selalu “dipersembahkan untuk“. Baik itu terhadap pandangan pria ataupun tuntutan budaya dimana mereka tinggal”.

Dan lagi-lagi, pendefenisian perempuan cantik membutuhkan “the other”.
Selasa, 13 Juli 2010, Pkl 15:05