0

Ibu Guru Cantik di Gang Kelinci

Petang itu dia melintas lagi. Pada jam yang sama. Dengan jinjingan yang sama pula. Sebuah white board kecil. Jilbab menjuntai panjang menutupi kepala hingga perutnya. Sunggingan senyumnya sungguh sangat manis. Kukira senyum itu ia pungut di tempat-tempat terindah.
Tak ada yang istimewa di gang itu. Sama seperti gang-gang kelinci lainnya. Paritnya yang sempit menolak datangnya hujan. Karena hujan tak punya tempat di sana. Anak-anak yang bermain seringkali berebut jalan dengan pengendara roda dua. Maklum, tanah di sana tak cukup luas untuk mereka tempati bermain. Suara riuh gang kelinci hampir tak pernah redah, kecuali pada malam hari. Gang kelinci adalah potret ironis di tengah gemerlapnya kota metropolitan yang sesak oleh bangunan-bangunan tinggi yang merusak pemandangan sebagian kecil orang. Ya, sebagian kecil. Karena hanya sebagian kecil yang sadar akan hal itu.
Memang tak ada yang istimewa di tempat sesempit itu, kecuali pada waktu yang khusus. Sabtu-minggu pukul 4 sore. Ada ibu guru cantik pada jam itu. “Ibu guru cantik”, begitulah anak-anak menyebutnya. Mereka merasa tak perlu mengingat nama ibu guru itu. Wajah cantiknya cukup mewakili keseluruhan dirinya. Mereka seperti melihat bidadari yang Tuhan turunkan dari langit. Mungkin ini seperti bidadari dalam iklan salah satu body parfum yang sesekali mereka tonton di warung-warung emperan saat istirahat. Namun, tentu saja Bu Guru cantik tidak turun karena alasan yang sama dengan iklan kapitalis itu. Berbekal papan tulis kecil, ia menghipnotis sekumpulan anak-anak. Membuat mata-mata mereka bagaikan busur panah yang menancap tepat di papan tulisnya. Anak-anak hebat yang menghabiskan hampir seluruh waktunya di jalanan.
“Bu Guru, Bu Guru…” Teriakan anak-anak saling memburu. Antusiame mereka menjadi semangat yang paling berharga untuk Bu Guru cantik agar tetap bertahan di gang kelinci yang sesak dan bau itu. Meski hanya diberi waktu satu setengah jam disetiap pertemuannya. Apalagi tanpa bayaran sepeser pun.
Hampir setiap sore. Di tempat yang sama aku menunggu Ibu Guru cantik melintas. Ibu Guru cantik yang senyumnya menawam. Ibu Guru cantik yang jilbabnya menjuntai panjang dengan white board kecil di tangannya.
19 Februari 2012. Pkl 00.05 Wita
0

Mimpi Jadi Demonstran

Matanya berbinar, seakan menantang mentari siang yang tak jua bosan membakar kulitnya yang terlanjur pekat. Ia mengepalkan tangannya, kuat. Mengangkatnya tinggi-tinggi. Lengan kirinya berbeban keranjang yang isinya tersisa separoh. Bibir kecilnya melantunkan lagu sepotong-sepotong, mencoba memburu lirik lagu yang membakar puluhan orang pengunjuk rasa di depan kantor DPRD kota itu.
Kali seperti ini, ia bukannya dengan sengaja mengambil keuntungan dari aksi unjuk rasa ini. Jualan jalangkotenya sudah pasti laris manis terjual. Bukan, bukan itu. Ini tidaklah serumit pemikiran tentang pangsa pasar atau market share dalam ilmu pemasaran. Pengetahuannya tak serumit teori ekonomi. Ia tak pernah tahu apa itu ilmu ekonomi. Yang ia tahu hanyalah jenis pecahan mata uang, dan hapalan pengurangan uang kembalian penjualan jalangkote miliknya.
Sekali lagi, ia mengangkat tinggi-tinggi kepalan tangannya. Pandangannya lurus menatap sang orator berkaos hitam yang berdiri tegap membakar orang-orang di sekelilingnya. Lantunan lagu yang mengiringi orasi sang orator menancap mantap di hatinya. Dalam hati ia berguman, kelak ia akan berdiri di tempat yang sama. Tentunya dengan kaos yang juga berwarna hitam. “Keren”, gumannya berbisik. Meski ia sadar benar, cita-citanya menjadi seorang mahasiswa hanya mampu ia gantung di langit-langit kamarnya yang usang. Jangankan bermimpi menjadi mahasiswa, mampu meluluskan sekolah dasarnya saja sudah cukup untung. Maklum, ia terlalu sering mengganti waktu sekolahnya dengan berjualan.
“Hidup rakyat, hidup rakyat.” Dengan mantap ia mengikuti rapalan mahasiswa-mahasiswa di sekitarnya.
“…mereka dirampas haknya. Tergusur dan lapar. Bunda relakan darah juang kami. Padamu kami berjanji…” Serupa mantra, bibir kecilnya ikut komat kamit. Ia ingat, semangat ini persis sama ketika ia menyanyikan lagu pancasila –yang tak lagi dihapalnya- saat duduk di kelas 3, 3 tahun yang lalu.
*ditemani lagu-lagu perjuangan. Rindu kampus, rindu aksi, rindu berpanas-panas ria. 
Kamis, 26 Januari 2012. Pkl 20.33 Wita.