Mimpi Jadi Demonstran

Matanya berbinar, seakan menantang mentari siang yang tak jua bosan membakar kulitnya yang terlanjur pekat. Ia mengepalkan tangannya, kuat. Mengangkatnya tinggi-tinggi. Lengan kirinya berbeban keranjang yang isinya tersisa separoh. Bibir kecilnya melantunkan lagu sepotong-sepotong, mencoba memburu lirik lagu yang membakar puluhan orang pengunjuk rasa di depan kantor DPRD kota itu.
Kali seperti ini, ia bukannya dengan sengaja mengambil keuntungan dari aksi unjuk rasa ini. Jualan jalangkotenya sudah pasti laris manis terjual. Bukan, bukan itu. Ini tidaklah serumit pemikiran tentang pangsa pasar atau market share dalam ilmu pemasaran. Pengetahuannya tak serumit teori ekonomi. Ia tak pernah tahu apa itu ilmu ekonomi. Yang ia tahu hanyalah jenis pecahan mata uang, dan hapalan pengurangan uang kembalian penjualan jalangkote miliknya.
Sekali lagi, ia mengangkat tinggi-tinggi kepalan tangannya. Pandangannya lurus menatap sang orator berkaos hitam yang berdiri tegap membakar orang-orang di sekelilingnya. Lantunan lagu yang mengiringi orasi sang orator menancap mantap di hatinya. Dalam hati ia berguman, kelak ia akan berdiri di tempat yang sama. Tentunya dengan kaos yang juga berwarna hitam. “Keren”, gumannya berbisik. Meski ia sadar benar, cita-citanya menjadi seorang mahasiswa hanya mampu ia gantung di langit-langit kamarnya yang usang. Jangankan bermimpi menjadi mahasiswa, mampu meluluskan sekolah dasarnya saja sudah cukup untung. Maklum, ia terlalu sering mengganti waktu sekolahnya dengan berjualan.
“Hidup rakyat, hidup rakyat.” Dengan mantap ia mengikuti rapalan mahasiswa-mahasiswa di sekitarnya.
“…mereka dirampas haknya. Tergusur dan lapar. Bunda relakan darah juang kami. Padamu kami berjanji…” Serupa mantra, bibir kecilnya ikut komat kamit. Ia ingat, semangat ini persis sama ketika ia menyanyikan lagu pancasila –yang tak lagi dihapalnya- saat duduk di kelas 3, 3 tahun yang lalu.
*ditemani lagu-lagu perjuangan. Rindu kampus, rindu aksi, rindu berpanas-panas ria. 
Kamis, 26 Januari 2012. Pkl 20.33 Wita.

Leave a comment