Istri Istimewa

Tanggal 27 nanti tepat 3 tahun usia pernikahan kami. Saya hampir lupa pada “kotak surat cinta” yang berisi tulisan-tulisan saya untuk suami. Saya mendapati angka istimewa dari jumlah surat cinta itu, 14 surat.

Hal yang paling membosankan setiap kali menulis surat cinta, ketika saya harus bertanya pada diri sendiri, “sudahkah saya menjadi istri yang baik?” Olalaaa… Dan dengan dalih pembelaan yang basi, saya selalu mengatakan pada diri saya sendiri, seorang istri tetaplah seorang perempuan.

Saya besar dalam lingkungan yang–bisa saya sebut–kurang harmonis. Setengah diri saya, saya ingin seperti mama saya. Setengahnya lagi, saya merasa sudah menjadi seperti mama yang tidak saya inginkan. Sebelum menikah saya berpikir, untuk mendapatkan diri saya sendiri saya harus menjadi istri kemudian menjadi ibu.

Seperti halnya orang yang ingin mahir berenang, maka untuk itu dia harus belajar melatih dirinya di dalam air. Tak ada berenang tanpa air. Pun juga tak ada istri tanpa pernikahan.

Menjelaskan seperti apa istri yang baik itu sama dengan usaha menjelaskan khadijah sebagai istri Rasulullah. Yang saya yakini tidak akan pernah sempurna untuk saya jelaskan. Dalam kitab-kitab sejarah pun, tak ada yang menjelaskan dengan gamblang kesempurnaan Khadijah sebagai Istri paripurna untuk manusia paripurna–maksud saya hal detil bagaimana Khadijah menjalankan perannya sebagai istri–Muhammad SAW. Tapi penjelasan yang sedikit tentangnya, cukup menjadi karpet yang menghantarkan para istri mencapai taman surgawi yang dijanjikan-Nya. Bukankah pintu surga itu banyak? Maka pilihlah dari pintu mana kamu ingin masuk.

Islam sendiri memiliki tuntunan bagaimana menjadi istri yang baik, istri yang sholehah. Dari sekian banyak konsepnya, setiap istri tentu punya cara bagaimana menerjemahkan tuntunan itu dalam praktiknya sehari-hari. Karena saya percaya, sebagai konsep kita semua tahu seperti apa istri sholehah itu. Tapi alasan basi–seperti alasan saya di atas :)–selalu jadi tambalan ketidaksempurnaan kita sebagai istri. Heheheee

Baiklah. Lalu seperti apa istri yang baik menurut saya?

Menjelaskan istri yang baik tak akan bisa terjelaskan ketika entitas seorang suami terabaikan. Seorang istri adalah “bunglon” bagi suaminya. Saat suami menjadi kanak-kanak, maka istri akan menjadi seorang ibu yang welas kasih. Saat suami menjadi seorang teman, makan istri akan menjadikan dirinya sahabat–bukan hanya teman–bagi suaminya. Saya sering kali mengatakan, menjadi istri berarti siap menampung sebagian ingatan suami, hihiii. Karena menurut pengalaman dan jajak pendapat, suami kadang kala menyerahkan sebagian ingatannya pada istri tercinta. Ingat dimana suami meletakkan barangnya, ingat jam makan dan istirahat, ingat ini, ingat itu, dll.

Hal yang paling penting menjadikan diri istri yang baik–masih menurut saya–ialah dengan menilai diri sebagai perempuan istimewa. Yaaa, cukuplah kita menilai bahwa kita adalah perempuan istimewa satu-satunya diantara banyak perempuan–sambil melihat kekurangan diri–yang dipilih menjadi teman hidup dalam mahligai yang indah. Menilai diri istimewa, spesial, akan membuat kita selalu berusaha membuktikan bahwa pilihan suami terhadap diri kita tidaklah salah. Menjadikan diri istimewa tentu akan menjadikan suami istimewa dengan perlakuan-perlakuan istimewa.

Tulisan ini tidak mengandung tips menjadi istri yang baik, apalagi sebagai tuntunan. Saya hanya mengutarakan hal yang saya yakini dan pelajari selama ini. Bisa jadi cara saya menjadi istri yang baik belum tentu baik untuk pembaca 😀

*Sabtu siang ditemani hujan yang indah

2 thoughts on “Istri Istimewa

Leave a comment